Mengawal Kebhinekaan di Era Jurnalisme Digital

Oleh : Asrari Puadi*
Kemajuan teknologi semakin memberikan warna yang unik bagi perjalanan demokrasi di Indonesia. Lewat kehadiran era digital elit politik semakin mempunyai “panggung” untuk lebih mendekatkan diri dengan konstituen, tak heran kemudian banyak kebijakan penting yang justru lahir dari suara-suara masif lewat bantuan instrumen digital seperti media sosial. Sehingga bisa dikatakan bahwa demokrasi hari ini memasuki era baru, era demokrasi digital. Hal itu bisa dilihat dari tereduksinya jaringan-jaringan sosial yang bersifat konvensional, pertemuan-pertemuan tatap muka, dan perkumpulan-perkumpulan organisasional, oleh kehadiran fitur-fitur digital. Puncaknya dapat kita lihat dari beberapa kali kontestasi demokrasi, baik dalam momentum Pilkada atau Pilpres, yang selalu erat dengan kegiatan memobilisasi massa melalui ikhtiar digital.
Baca juga : Inspektur Bersama TPID Kalteng Hadiri Rapat Koordinasi Pengawasan Pengendalian Inflasi DaerahSelain memberi dampak positif, kehadiran era digital sebagai pemenuhan puncak dari hierarki kebutuhan mengaktualisasikan diri sebagai Zoon Politicon (makhluk sosial), juga kerap kali berbalik menjadi benalu bagi perjalanan demokrasi dan stabilitas kehidupan bernegara. Kebhinekaan sebagai konsensus bernegara dan fitrah sebagai manusia, acap kali menjadi sasaran tembak dari ganasnya kehadiran era digital. Terkuaknya sindikat Saracen sebagai produsen dari merebaknya konten kebencian beberapa waktu lalu misalnya, membuktikan bahwa era digital selain membawa manfaat juga sekaligus membawa ancaman yang sangat serius bagi masa depan kebhinekaan.
Pendangkalan Kualitas Jurnalisme
Demi menghasilkan berita yang layak dan bermanfaat untuk khalayak, akuntabilitas dan penyiaran atas fakta menjadi landasan utama dalam setiap kerja-kerja jurnalisme. Namun, tidak jarang media atau pers merasa bahwa mematuhi semua kaidah moral dalam jurnalisme merupakan sebuah pekerjaan yang sulit, apalagi di saat seperti sekarang, di mana produk jurnalisme ideal harus berhadapan dengan lajunya distribusi informasi digital yang kadang kala bukan dihasilkan dari sebuah proses panjang dapur redaksi.
Akibat dari itu semua, pendangkalan kualitas jurnalisme semakin hari semakin terlihat.Pada level makro, fenomena tersebut terkait dengan komersialisasi media yang semakin menguat hingga mengubah arah tujuan jurnalisme itu sendiri, yang pada akhirnya menjauhkan wartawan dan kerja redaksi pada khittah tujuannya. Belum lagi keberpihakan media dengan kepentingan pemilik, sehingga membuat entitas jurnalisme tidak lagi independen dan seringkali diintervensi oleh sang pemilik.
Pada level mikro, pendangkalan jurnalisme di Indonesia dikaitkan pula dengan menurunnya profesionalisme para jurnalis itu sendiri. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan media yang semakin me-liberal, dengan faktor kapital yang menjadi aktor utamanya. Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, jurnalis tenggelam dengan situasi, kerja dan rutinitas yang menghamba pada keuntungan. Produk jurnalistik semakin dangkal substansi, dan semakin instan karena mengejar kontribusi atas diri.
Pendangkalan-pendangkalan yang terjadi juga ditenggarai oleh kehadiran jurnalisme onlinedalam era digital. Alih-alih menjadi pencerah, justru seringkali sebaliknya menjadi pelengkap atas kerumitan masalah dari merosotnya kualitas jurnalisme.
Konten Baik vs Konten Buruk
Kehadiran era digital memang tak bisa dipungkiri memberi pengaruh pada kualitas produk jurnalisme. Dalam perbandingannya dengan jurnalisme konvensional, perubahan tersebut dapat menuju ke dua arah yang berbeda. Pertama, produk jurnalisme online dapat lebih baik kualitasnya dibanding jurnalisme konvensional, atau kedua, jurnalisme online bisa lebih buruk dibanding jurnalisme konvensional.
Secara kuantitatif produk jurnalisme online menghasilkan lebih banyak konten dibanding jurnalisme konvensional, namun di sisi lain peningkatan secara kuantitatif ini tidak dibarengi oleh peningkatan kualitas jurnalisme itu sendiri. Dimana baik dalam jurnalisme konvensional maupun jurnalisme online sama-sama menunjukkan hasil bahwa kualitas jurnalisme yang buruk masih lebih banyak terproduksi dan mendominasi dibanding jurnalisme yang melahirkan kualitas baik.
Ketimpangan produksi antara konten yang berkualitas baik dan konten yang berkualitas buruk tersebut menjadi tantangan sekaligus pekerjaan rumah yang tidak mudah, apalagi ketika fungsi jurnalisme dihadapkan pada fungsinya dalam ikut menyokong tegaknya faham berbangsa dan berbhineka. Dimana jurnalisme dengan kualitas dan konten yang baik dapat memicu publik untuk memproduksi optimisme terhadap bangsa, dan membangun kembali kepercayaan akan kekuatan berbhineka.
Menggerakkan Silent Majority
Secara singkat, masyarakat dalam era digital dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Yaitu Haters, Silent Majority dan Supporters. Bagaimanapun kelompok Haters pada perjalanannya akan terus dan tetap menjadi Haters. Sehingga yang perlu dikelola dengan baik adalah kelompok masyarakat yang berada pada kelompok Silent Majority, dalam konteks ini yaitu kelompok mayoritas masyarakat yang cenderung memilih diam ketika terjadi masalah yang mengancam kebhinekaan.
Pengelolaan ini bisa dilakukan dengan semakin sering melakukan pencerahan, dengan memobilisasi distribusi konten positif kepada kelompok tersebut. Kedua, menggerakkan kelompok Silent Majority menjadi manusia suprarasional. Dimana manusia suprarasional tidak hanya berpijak pada akal sehat semata namun lebih jauh dari itu, yaitu mengutamakan kebenaran. Sehingga menerima informasi tidak cukup dengan hanya masuk akal saja, namun melakukan penggalian lebih dalam terhadap kebenaran informasi yang diterimanya.
Di sisi lain, sebagai manusia modern sangat tidak bijaksana serta tidak mungkin jika kelompok Silent Majority tadi digerakkan ke dalam arus “say no to digitalization”, oleh karena itu mengawal kebhinnekaan di era digital haruslah dilakukan dengan ikhtiar-ikhtiar cerdas. Rasa nasionalisme, cinta tanah air, saling menghargai dengan saling menghormati aturan dan landasan filosofis berbangsa sebagai hasil konsensus bersamaharuslah dikelola dengan sekreatif mungkin agar menarik. Mengawal kebhinekaan di era digital juga berarti memberi penekanan pada setiap anak bangsa untuk lebih banyak lagi memproduksi konten positif yang berkualitas, baik itu yang dihasilkan oleh kerja-kerja jurnalis atau jejaring atas nama pribadi. Hal ini penting dilakukan, agar kebhinekaan di masa depan tidak sekedar menjadi dongeng kehidupan.
*Mahasiswa Pascasarjana Ketahanan Nasional, Universitas Gadjah Mada dan Ketua Himpunan Pelajar Mahasiswa Kalteng di Yogyakarta