Melestarikan Hukum Adat Kalimantan Tengah, Jaga Warisan Leluhur di Tengah Modernisasi

MMCKalteng - Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan budaya dan adat istiadat. Namun, arus modernisasi ikut mengubah berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk keberadaan hukum adat. Meski sering dianggap kuno, hukum adat nyatanya tetap hidup dan berkembang, salah satunya di Kalimantan Tengah yang hingga kini masih menjaga kelestarian hukum adat.
Menurut Van Vollenhoven, hukum adat merupakan aturan-aturan yang mengatur perilaku masyarakat dan memiliki sanksi, namun aturan tersebut tidak tertulis atau tidak dikodifikasi, sehingga disebut sebagai adat. Dengan demikian, hukum adat lahir dan berkembang secara alami di tengah-tengah masyarakat, mengikuti nilai-nilai yang diyakini dan diwariskan turun-temurun.
Baca juga : HUT Ke-59 Kobar, Bakal Dimeriahkan Kobar Expo 2018Pada 22 Mei hingga 24 Juli 1894 digelar rapat besar untuk mengakhiri konflik antar sub suku Dayak di seluruh Kalimantan, termasuk tradisi kekerasan seperti Hakayau (pemotongan kepala), Hapatei (saling membunuh), dan perbudakan (Jipen). Sebanyak 152 suku diundang untuk menghadiri pertemuan ini, bahkan pihak Belanda turut hadir dalam rapat tersebut.
Hasil dari rapat besar ini dikenal dengan Perjanjian Tumbang Anoi yang menghasilkan 96 pasal Hukum Adat Dayak Kalimantan Tengah sebagai dasar seluruh Hukum Adat Dayak, kemudian dikenal dengan HADAT 1894. Perjanjian ini tidak menghapus hukum adat Dayak lainnya, justru memperkuat dan menyelaraskan berbagai aturan adat yang ada. Keberadaan HADAT 1894 diharapkan mendapat pengakuan resmi dari negara, mengingat hukum positif Indonesia sendiri juga berakar dari hukum adat.
Namun, seiring berjalannya waktu, keberadaan HADAT 1894 belum banyak dikenal oleh generasi muda Dayak. Minimnya ketersediaan buku cetakan HADAT 1894, terbatasnya publikasi, serta kurangnya sosialisasi menjadi penyebab utama lemahnya pemahaman masyarakat terhadap warisan hukum adat tersebut.
Salah satu upaya mempertahankan Hukum Adat Dayak adalah didirikannya Lembaga Kedamangan. Lembaga ini diurus oleh Damang Kepala Adat yang berfungsi melestarikan dan meberdayakan adat istiadat, menegakkan hukum adat, serta menyeleggarakan pengembangan nilai-nilai adat Daya.
Kedemangan sendiri merupakan lembaga yang terbentuk atas dasar kesatuan wilayah (lewu) dan kesamaan adat istiadat. Selain Damang dan Mantir Adat, terdapat juga tetua adat seperti Basir, Pisur, Balin, dan Juru Sangiang yang memiliki peran besar dalam urusan keagamaan Kaharingan serta berbagai upacara adat seperti kelahiran, kematian, perkawinan, hingga pengobatan. Para tetua adat ini tetap dihormati dan sering dilibatkan dalam ritual adat maupun kegiatan keagamaan masyarakat Dayak.
Lembaga Kedamangan diberikan payung hukum oleh pemerintah melalui Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah. Peraturan ini memberikan dasar hukum bagi peran Damang dalam menjaga ketertiban, menyelesaikan konflik, dan melestarikan adat istiadat Dayak.
Dengan adanya payung hukum tersebut, eksistensi Lembaga Kedamangan semakin kuat dan diakui dalam sistem pemerintahan formal, sekaligus menjadi garda terdepan dalam mempertahankan kearifan lokal di tengah arus modernisasi.
Generasi muda pun memiliki peran penting dalam upaya pelestarian budaya. Mereka dapat berkontribusi dengan cara mempelajari dan memahami nilai-nilai tradisi, menambah pengetahuan tentang sejarah budaya, serta menanamkan rasa bangga terhadap warisan budaya nusantara. Selain itu, generasi muda juga didorong untuk mengembangkan kreativitas dengan saling mengenal dan mempelajari budaya dari daerah lain sebagai bentuk penghormatan dan upaya memperkuat toleransi antar masyarakat. (MTD/edit:IAQ)