Pemprov Kalteng Dorong Pangan Berbasis Kearifan Lokal

MMCKalteng – Palangka Raya – Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah menegaskan komitmen untuk menjamin pemenuhan hak atas pangan dan gizi secara berkelanjutan melalui penguatan pangan lokal berbasis kearifan tradisional. Komitmen tersebut disampaikan Staf Ahli Gubernur Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan Yuas Elko, saat membuka Diskusi Publik Isu Pangan dan Gizi yang diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Tengah di Rumah Tjilik Riwut Gallery and Resto, Palangka Raya, Kamis (14/8/2025).
Pada kesempatan tersebut, Yuas menegaskan bahwa pangan lokal merupakan aset strategis yang tidak hanya berperan dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi, tetapi juga memiliki nilai ekonomi, sosial, dan budaya yang patut dilestarikan. Ia menegaskan, kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak dimaksudkan untuk menghapus praktik peladangan tradisional.
“Pemerintah memahami bahwa peladangan tradisional merupakan bagian dari identitas sekaligus sumber pangan Masyarakat adat. Fokus kami adalah memastikan tata kelola yang tepat sehingga padi hitam, umbi-umbian, jagung, dan hasil pertanian lainnya dapat terus menjadi komoditas unggulan tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan,” ujar Yuas.
Yuas menambahkan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah mendorong inovasi pangan lokal, memperluas akses pasar, dan memperkuat distribusi agar produk pertanian tidak hanya dikonsumsi rumah tangga, tetapi juga mampu bersaing secara luas, meningkatkan pendapatan petani, dan memperkuat ketahanan pangan daerah.
Sementara itu Koordinator Nasional FoodFirst Information and Action Network Indonesia Ahmad Martin Hadiwinata, menekankan pentingnya hak atas pangan dan gizi sebagai hak asasi manusia yang setara dengan hak untuk hidup. Ia memaparkan hasil pemantauan di empat desa di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau, dengan fokus pada empat dimensi hak atas pangan dan gizi serta tema terkait perlindungan sumber daya alam, gizi, kesehatan, dan kesesuaian budaya.
“Hak atas pangan dan gizi adalah hak asasi manusia yang setara dengan hak untuk hidup. Pemantauan kami menyoroti kelayakan, ketersediaan, keterjangkauan, keberlanjutan, serta perlindungan sumber daya alam, gizi, kesehatan, dan kesesuaian budaya,” tutur Martin.
Menindaklanjuti hal tersebut, Budayawan Kalimantan Tengah Sidik R. Usop, menekankan bahwa peladangan tradisional menjadi praktik penting dalam pemenuhan hak atas pangan.

“Peladangan tradisional harus dijalankan dengan tata kelola budaya yang ketat, dipimpin juru padang, dan diakhiri dengan ritual syukur. Kebijakan larangan membakar lahan sebaiknya dilengkapi dengan solusi alternatif yang adil dan kontekstual agar kedaulatan pangan masyarakat tetap terjaga,” tegas Sidik.
Sejalan dengan itu, dari perspektif pelayanan publik, Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Kalimantan Tengah Biroum Bernardianto, mengingatkan pentingnya kebijakan berbasis kajian mendalam agar terhindar dari maladministrasi.
“Setiap kebijakan yang disusun tanpa kajian menyeluruh berpotensi menimbulkan maladministrasi yang merugikan masyarakat. Rekomendasi Ombudsman bersifat mengikat dan wajib ditindaklanjuti oleh pemerintah,” jelas Biroum.
Selain itu, sejumlah akademisi dan perwakilan generasi muda turut menyampaikan pandangan. Mereka menekankan bahwa pendampingan teknologi pertanian harus selaras dengan kearifan lokal, sementara kebijakan pangan wajib menjamin partisipasi masyarakat sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan. Penguatan peran penyuluh pertanian lapangan juga dianggap strategis untuk mengintegrasikan praktik tradisional dengan kemajuan teknologi.
Dengan terselenggaranya diskusi publik ini, tercipta ruang dialog strategis antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, budayawan, akademisi, dan komunitas lokal. Semua pihak sepakat bahwa pemenuhan hak atas pangan harus mengintegrasikan kearifan lokal, keberlanjutan lingkungan, perlindungan hak masyarakat adat, dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan sebagai pilar pembangunan daerah. (ARK/Foto:Rzl)