Di Balik Layar Hoax Viral, Jebakan Psikologis yang Membuat Kita Mudah Percaya

MMCKalteng - "SEBARKAN SECEPATNYA!" atau "INFO VALID DARI GRUP SEBELAH!", kalimat dengan huruf kapital dan tanda seru seperti itu pasti tak asing lagi di grup WhatsApp keluarga atau linimasa media sosial kita. Sebuah informasi datang, seringkali dengan judul yang membuat jantung berdebar atau emosi memuncak. Refleks pertama kita mungkin adalah menekan tombol "share" atau "bagikan". Tapi, tunggu dulu. Sudahkah kita berhenti sejenak untuk bertanya: benarkah informasi ini?
Di tengah lautan informasi digital, membedakan mana berita asli dan mana berita bohong (hoaks) menjadi tantangan besar. Bahayanya, jebakan hoaks ini semakin mudah menjerat kita, terutama ketika satu pilar penting mulai goyah yaitu kepercayaan kita pada media massa.
Sebuah fakta yang mengkhawatirkan terungkap, semakin rendah kepercayaan seseorang pada media berita yang resmi (seperti media online terverifikasi, koran, atau televisi), semakin besar kemungkinannya untuk termakan dan bahkan menyebarkan hoaks. Ini adalah ide utama yang perlu kita pahami. Ketika masyarakat merasa media profesional sudah tidak bisa dipercaya, entah karena dianggap berpihak atau hanya mengejar rating, mereka akan mencari sumber informasi "alternatif". Di sinilah letak masalahnya. Sumber alternatif ini seringkali adalah:
Pesan berantai di aplikasi percakapan (WhatsApp, Telegram), unggahan viral di media sosial (Facebook, Twitter, TikTok), situs web tidak jelas yang tampilannya mirip portal berita. Sumber-sumber ini tidak memiliki standar jurnalisme. Tidak ada proses verifikasi, cek fakta, atau konfirmasi narasumber. Informasi yang disajikan seringkali mentah, berat sebelah, dan dirancang khusus untuk memancing emosi pembaca, bukan untuk memberikan kebenaran.
Akibatnya, terciptalah sebuah lingkaran setan. Masyarakat yang skeptis pada media resmi, justru menelan mentah-mentah informasi dari sumber anonim yang jauh lebih tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Hoaks dibuat bukan untuk menginformasikan, tetapi untuk menipu dan mengacau. Agar tidak terjebak, kenali ciri-cirinya yang paling umum:
Judul Sensasional dan Provokatif: Menggunakan kata-kata seperti "MENGEJUTKAN!", "VIRAL!", "TERBONGKAR!", yang bertujuan memancing amarah atau kepanikan.
Minta Disebarkan (di-Viralkan): Seringkali ada kalimat perintah di akhir pesan yang mendorong Anda untuk segera membagikannya. Informasi yang benar tidak perlu paksaan seperti itu untuk tersebar.
Sumber Tidak Jelas: Mencatut nama tokoh terkenal atau "ahli" tanpa ada tautan atau kutipan asli. Seringkali hanya berbunyi "kata seorang dokter" atau "info dari intelijen".
Menguras Emosi: Isinya dirancang untuk membuat Anda marah, sedih, atau takut. Saat emosi menguasai, logika dan sikap kritis kita seringkali menurun.
Periksa Tampilan dan Alamat Situs: Untuk berita dari situs web, perhatikan alamat URL-nya. Situs berita abal-abal sering menggunakan alamat yang meniru media ternama (misalnya, kompasiana.com adalah blog warga, bukan kompas.com yang merupakan media profesional).
Melawan hoaks adalah tanggung jawab kita bersama. Caranya tidak sulit, cukup dengan membangun kebiasaan sederhana yang disebut "Saring Sebelum Sharing".
Cek Sumber Berita: Apakah informasi ini datang dari media yang kredibel dan terdaftar di Dewan Pers? Jika hanya dari "grup sebelah", patut dicurigai. Bandingkan dengan Berita Lain: Coba cari topik yang sama di mesin pencari Google. Apakah media-media besar dan terpercaya juga memberitakannya? Jika tidak ada, kemungkinan besar itu adalah hoaks. Pada akhirnya, di era digital ini, setiap individu adalah editor bagi dirinya sendiri. Kemampuan untuk memilah dan memilih informasi yang benar adalah sebuah keharusan.
Meskipun kepercayaan pada media mungkin sedang terkikis, jalan keluarnya bukanlah dengan memercayai sumber anonim yang lebih berbahaya. Jalan keluarnya adalah dengan menjadi pembaca yang lebih kritis, mendukung media yang bekerja secara profesional, dan yang terpenting, memutus rantai penyebaran hoaks mulai dari jari kita sendiri. Ingat, satu kali Anda membagikan hoaks, Anda telah berkontribusi pada kekacauan informasi. (TRA)