Paksa Anak Bekerja, Bisa Pengaruhi Psikis Anak

MMCKalteng, Palangka Raya – Himpitan ekonomi seringkali dijadikan alasan orangtua memaksa anak-anak, khususnya berusia sekolah untuk ikut mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarga. Mulai dari bekerja serabutan hingga berjualan.
Baca juga : Ketua DWP Kalteng Hadiri Halalbihalal Idul Fitri 1442 H bersama Ketua Umum DWP Pusat“Sepengetahuan saya, orangtua yang memaksa anaknya di bawah usia 18 tahun untuk bekerja atau berjualan demi membantu memenuhi kebutuhan keluarga, sudah termasuk kategori perdagangan orang. Jika itu terjadi, maka orangtua bisa dipidana atau diproses hukum,”ungkap Harry, warga Palangka Raya.
Lebih lanjut tenaga pengajar di SMP Negeri 1 Palangka Raya ini mengatakan, orangtua yang memaksa anak-anaknya mencari uang, secara tidak langsung sudah merampas hak dasar anak-anaknya, yaitu menikmati masa bermain dan belajar atau bersekolah. Padahal, sejatinya yang mencari nafkah atau uang adalah tugas dari orangtua.
“Anak-anak itu jangan dipaksa mencari uang. Tugas mencari nafkah tersebut merupakan tanggung jawab orangtua, terutama untuk memenuhi segala kebutuhan si anak,”tegasnya.
Kata Harry, banyaknya orang tua saat ini yang beranggapan bahwa anak harus bisa mandiri. Hal itu tidaklah salah, namun mendidik anak agar bisa mandiri bukan berarti mengajarkan mereka untuk bekerja pada usia muda atau usia yang seharusnya masih menggantungkan pada ilmu pengetahuan, belajar atau bersekolah.
“Bila kita melihat anak yang menawarkan cemilan/makanan, koran, hingga meminta-minta (mengemis) maupun hal lainnya, lebih dikarenakan dipaksa atau dituntut menopang penghasilan keluarga,”ujarnya.
Kondisi ini kata dia, tentu memprihatinkan, karena anak-anak harus digembleng untuk mandiri, sementara hal penting seperti belajar dan bersekolah terlupakan.Disisi lain, ketika anak dipaksakan ikut bekerja membanting tulang maka bisa saja perilaku mental anak tidak stabil. Anak bisa tumbuh dengan sikap dan temperamen keras.
“Bisa saja ketika tumbuh dewasa anak mudah terjerumus pada hal yang salah. Seperti jadi seorang pembangkang, emosional dan masuk pada pusaran berat seperti perokok, pemabuk atau pecandu narkoba. Ini karena sejak kecil diterpa dengan hidup yang keras,”tutur Harry.
Menurut Harry, meskipun anak usia dini atau usia sekolah digodok untuk bekerja keras memiliki sisi positif, terutama pada sikap kemandirian, namun secara sikap akan rentan terpapar pada situasi perilaku yang buruk.
“Ini banyak saya lihat disituasi lingkungan, dimana anak dari kecil terbiasa kerja keras, maka ketika bertumbuh dewasa terlihat ia memiliki watak keras dan cenderung apatis. Beda dengan anak yang digodok mengecap pendidikan dengan baik,”bebernya.
Dikatakan, banyak kasus anak-anak yang ketika tumbuh dewasa bersikap pembangkang, bahkan berani lari meninggalkan rumah, lebih dikarenakan anak tersebut sejak dini terbiasa hidup keras.
“Ini lagi-lagi disebabkan anak sejak kecil sudah dihadapkan dengan hidup keras, sementara dari sisi mengecap ilmu sekolah atau bermain minim di dapat,”terangnya.
Seharusnya imbuh Harry orang tua wajib konsisten menempatkan hak hidup anak didiknya secara tepat, meskipun sesulit apapun perekonomian keluarga, namun membangun mental anak harus secara bertahap.
“Intinya harus bisa menempatkan anak pada posisi tepat. Baik dari sudut pandang bersekolah, bermain maupun bekerja. Selaku orangtua inilah yang sedang saya terapkan pada anak-anak saya,” tutupnya. (MC. Isen Mulang)